SIBLING RIVALRY

Waktu masih menunjukkan pukul 07.15 WIB.  Suamiku baru berangkat bekerja sekitar 10 menit yang lalu.

'Okey,  waktunya jemurin baju dulu sebelum memandikan anak-anak,' pikirku.

Rutinitasku setiap pagi sebagai Emak berdaster memang tak jauh dari urusan pekerjaan rumah. Mencuci,  menyapu,  memasak,  ngurusin anak,  ngurusin suami, dan lain-lain. Sebelum Subuh biasanya aku sudah mencuci di mesin cuci agar setelah subuh tinggal membilasnya. Dilanjutkan setelah Subuh mencuci piring sisa makan malam,  merebus air dan menyiapkan semua keperluan sarapan.  Aku senang jika bisa menyiapkan semuanya sebelum pukul setengah tujuh. Tujuanku hanya satu,  agar suami tidak terlalu siang berangkat bekerja sehingga tidak terlambat datang di kantornya.

"Hanan,  Ummi mau jemurin baju dulu, ya. Sayang Dedek,  nggak boleh nakalin ya, " perintahku kepada anak pertamaku. 

Bukan apa-apa,  anak pertamaku itu memang masih suka memukul adiknya. Mungkin karena dia belum mengerti,  atau mungkin ada rasa cemburu terhadap adiknya. Sebenarnya kasihan sekali melihat adiknya dipukul,  tapi apa mau dikata, bocah itu memang super aktif. Gerakanku kalah cepat dengannya yang dengan lihai sudah memukul, entah itu kepala atau bagian tubuh lain, padahal sedetik sebelumnya masih bermain bersama.

Baru saja mengambil baju setengah kering dari spinner, dan hendak menjinjing ember ke tempat jemuran, saat mendengar tangis anakku Nada meledak.  Sudah pasti baru dipukul oleh kakaknya. Dengan cepat aku meninggalkan ember itu dan menghampiri mereka berdua.

"Anak sholeh, nggak boleh nakalin Dedek terus.  Kasihan.  Dek Nada kan adiknya Mas Hanan,  harus disayang, " ucapku menahan intonasi suara agar tidak meninggi seraya menggendong Nada.

"Hanan mau ini!" teriaknya sambil merebut lego di tangan Nada. 

Tak ayal adiknya pun melanjutkan tangisan yang tadi sempat terhenti.  Anak kedua ini sudah bisa melawan kakaknya.  Direbutnya kembali lego di tangan kakaknya,  dan terjadilah tarik-menarik benda berwarna cerah itu antara Hanan dan Nada. 

Sementara aku berusaha melerai mereka,  tetap saja pukulan Hanan berhasil mendarat di kepada adiknya.  Seringkali aku hilang kendali saat Hanan sudah berulang kali memukul adiknya. 

"Nggak boleh nakal!  Sini legonya!" ucapanku dengan intonasi tinggi seraya mengambil lego dari tangan Hanan. 

Hanan yang kaget pun menyerahkan lego namun dengan tangisan yang tak kalah meledak. 

'Bagus, dua anak nangis berbarengan, ' pasrahku dalam hati.

Untuk beberapa menit aku membiarkan mereka menangis sebelum akhirnya membujuk mereka agar terdiam.  Memang salahku yang kurang sabar menghadapi mereka.  Sebenarnya bisa saja tangisan itu tidak terjadi jika saja aku mempunyai ide yang lebih jitu untuk mencegahnya.  Namun,  susana hati dan pikiran memang tidak selamanya jernih.  Pekerjaan ibu rumah tangga yang seakan tidak ada habisnya membuatku kadang selalu tergesa.  Inilah yang mungkin menjadi pintu masuk setan untuk menggoyahkan kesabaranku.

"Udah ... udah ... diam semua ya. Yuk main bareng-bareng lagi.  Adik-kakak harus berbagi,  nggak boleh serakah. Kalau serakah nanti ada setan, " kalimat yang sebenarnya tidak baik namun tetap aku ucapkan agar Hanan mau menurut.

Terpaksa aku menakutinya dengan setan. Padahal itu hal yang harus dijauhi, karena bagaimanapun akan menganggu mental anak,  menjadikannya penakut atas hal yang tidak semestinya.

Hanan pun menurut dan mau kembali berbagi mainan dengan adiknya.  Sementara aku melanjutkan pekerjaan yang tertunda. Urusan menjemur baju sudah selesai,  aku lanjutkan menyapu dan berniat mengepel lantai. Teras rumah terlihat sangat kotor karena hujan yang mengguyur petang kemarin.  Ditambah ukiran cantik dari noda ban motor yang penuh lumpur membuatku semakin kusut pikiran.  Ingin sekali melihat semuanya bersih dalam waktu sekejap mata.

"Habis Ummi nyapu nanti mandi bareng-bareng ya. Mainan dulu bentar, jangan nakalin Dedek lagi," ucapku mewanti-wanti lagi. 

Lagi-lagi aku memerintahkan Hanan hal yang sama.  Mungkin ini juga yang membuat hatinya berontak. Bosan menerima ultimatum dariku.  Hingga tetap saja dia melakukan hal yang sama demi menunjukkan egonya.

Tangisan ke dua pun meledak dari Nada setelah buku yang dipegangya direbut lagi oleh Hanan. Kejadian persis seperti tadi terulang kembali. 
Entah,  sudah berapa kali kejadian seperti itu mewarnai hari-hari kami. Ada saja yang membuat Hanan memukul adiknya. Mungkin ini yang dinamakan sibling rivalry. Ketika sesama saudara saling menunjukkan persaingan.  Persaingan dalam hal apa pun.

Aku sendiri tidak membedakan perlakuan terhadap mereka satu sama lain. Namun sepertinya sudah hukum alam bahwa kakak-adik pasti akan selalu bertengkar. Bertengkar untuk hal-hal sepele seperti ini terntunya.  Bukan bertengkar dalam arti bermusuhan.

Tugas berat dan wajib bagi seorang ibu adalah tetap membimbing anak-anak.  Mengarahkan mereka agar mau berbagi dalam kesehariannya. Berbagi mainan,  makanan,  hingga sarana belajar mereka seperti buku misalnya.

Ah,  semoga aku dapat selalu menikmati peran ini.  Membersamai ank-anak dengan bermacam tingkah laku mereka.  Menghadapi sibling rivalry mereka dengan hati yang lapang dan pikiran yang tenang sehingga tidak perlu lagi ada drama lomba tangis di antara mereka. 

Terus belajar mengendalikan emosi ya Ummi ...

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SMARTPHONE DAN REMAJA

HUJAN DERAS