AKU MEMILIHMU

Sinar hangat mentari belum jua nampak di ufuk timur.  Titik-titik embun masih terasa dingin kala aku menapakkan kaki di rerumputan halaman. Asap putih terlihat mengepul dari atap dapur rumah tetangga kanan-kiri yang berjarak tanah pekarangan dengan rumahku.  Manandakan si empunya sedang mempersiapkan segalanya untuk mengawali hari ini. Pagi khas pedesaan di kaki bukit ini begitu damai.  Tidak ada deru kendaraan yang berlalu-lalang,  hanya sesekali melintas sepeda motor di jalanan depan rumah.

'Masih banyak waktu yang kupunyai untuk menyalurkan hobiku,' pikirku.

Berbekal cangkul, sepatu boot, dan beberapa ikat bibit pohon albasia,  aku bergegas menuju kebun. Ada agenda yang harus kutunaikan pagi ini sebelum berangkat untuk pekerjaan baru. Satu per satu aku mulai menancapkan bibit pohon di tanah yang telah kugali. Rasa senang dan bersemangat mengiringiku melakukan hobi ini.  Entah,  seperti ada kepuasan tersendiri ketika melihat tiap jengkal tanah terisi dengan bibit, kemudian melihatnya tumbuh berkembang menjadi pokok yang kokoh. 

"Mas Amar!" teriakan dari rumah terdengar memanggilku. 

"Ya!" sahutku tak kalah keras.

"Inget udah kerja! Nanti kesiangan!" adikku menyambung teriakannya.

"Iya,  tanggung nih,  sebentar lagi selesai!" ucapku kemudian.

Ah, iya. Jika tidak ingat aku sudah menerima panggilan pekerjaan,  pasti aku masih hendak berlama-lama di kebun.  Bercengkerama dengan berbagai tanaman hasil cocok tanamku. Namun,  tanggung jawab untuk menghidupi adik-adik, membuatku harus bersemangat menempuh jalan ini.

Lamaran kerja di suatu instansi swasta minggu lalu ternyata menjadi jalan memperoleh pekerjaan baru, setelah sebelumnya aku hanya menghabiskan waktu di kebun. Bidang pekerjaan yang baru, namun tidak menyurutkan langkahku untuk menggelutinya. Latar belakang pendidikan yang jauh berbeda pun bukan masalah.  Karena bagiku,  semua bisa dijalani dengan pemikiran yang rasional, ketekunan,  dan keuletan. 

"Mas,  aku berangkat dulu ya, udah ditungguin Rini tuh," adikku mengukurkan tangan menyalamiku.

"Ya, belajar yang rajin di sekolah. Nanti Mas mungkin pulangnya sore," ucapku seraya memberinya satu lembar pecahan sepuluh ribu untuk uang sakunya.

***

Kupacu kuda besi menyusuri jalanan desa yang berkelok.  Kanan-kirinya terhampar sawah yang mulai menguning, sedangkan jauh di pandangan mata terlihat perbukitan yang berbaris rapi. Dengan kecepatan sedang,  aku bisa menikmati alam ciptaan-Nya dengan leluasa.

Setengah jam waktu yang kubutuhkan untuk sampai di tempat kerja.  Jalanan yang lumayan rusak membuatku sedikit harus berhati-hati agar tidak terjadi hal yang tidak diinginkan.

"Sudah siap kan untuk hari ini?" Doni teman baruku menyapaku di parkiran motor. 

Dia adalah sesama pegawai baru di kantor ini. Pemuda yang baru lulus SMA itu terlihat bersemangat dengan penampilannya yang lumayan rapi.  Ah,  berbeda sekali denganku yang apa adanya. Hanya memakai kemeja sederhana dengan sepatu yang tak aku poles.

"Harus siap dong,"  ucapku melebarkan senyum. Kami beriringan memasuki gedung yang masih terasa asing ini.

Mungkin ada asa berbeda yang kami miliki ketika sama-sama melamar pekerjaan di sini. Aku seorang lelaki dengan usia mapan dan mempunyai tanggung jawab ,  sedangkan dia pemuda tanggung tanpa beban. Namun,  takdir membawa kami berjumpa di tempat yang sama. Melakoni pekerjaan yang sama.

Bersambung.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

REVIEW BUKU THE POWER OF DASTER

HADIAH UNTUK RESTU

PILIH PUNYA HUTANG ATAU PIUTANG?