SEBUAH CERITA TENTANG LISA
Masih terbayang wajah ayu itu. Seorang wanita pendiam yang menjadi istri dari saudara sepupuku. Perkenalan yang singkat dan proses pernikahan yang terbilang cepat membuatku tidak begitu mengenalnya. Namun, masih teringat jelas episode-episode kehidupannya bersama keluarga kami, yang aku saksikan.
Hari pernikahan antara Hisyam sepupuku dengan wanita itu adalah kali ke dua aku melihat wajahnya dengan jelas. Setelah sebelumnya hanya melihatnya sekilas saat keluarganya datang ke rumah tanteku, beberapa bulan sebelum pernikahan.
"Maasyaa Allah .. cantik banget ya," bisikku kepada kakakku saat menyaksikan kedua mempelai di pelaminan.
"Iya, Lisa memang cantik banget, apalagi kalau di make-up gitu," timpal kakakku. Ya, Lisa nama perempuan cantik berkulit putih yang menjadi istri saudara sepupuku.
Pernikahan secara sederhana tak menutupi kebahagian kedua mempelai, begitu pun kedua keluarga. Rombongan keluarga kami dari pihak mempelai laki-laki bertandang dengan suka cita menyaksikan pernikahan itu. Penyambutan yang layak pun disuguhkan oleh pihak keluarga Lisa, sang mempelai perempuan.
Hingga saat tiba waktunya Lisa diboyong ke rumah tanteku. Rumah yang berjarak sekitar 500 mt dari rumahku membuatku sedikit banyak tahu tentang kesehariannya. Dia memang seorang yang pendiam. Namun, dia juga seorang istri yang penurut. Apapun yang diperintahkan oleh Hisyam selalu dijalankan.
Ibuku yang mengetahui hal itu pun terkadang sedikit menasihati Hisyam, "Kamu itu jangan apa-apa main perintah sama Lisa. Kasihan dia."
"Kasihan gimana sih, Budhe?" kilah Hisyam ketika itu.
"Ya masak udah petang, masih aja kamu suruh-suruh ke warung beli ini itu," cecar ibuku.
"Ya, gimana lagi, karena keadaannya gitu. Lagian kan dia juga mau," bantah Hisyam.
Ibuku pun hanya mengangkat bahu mendengar jawabannya, sedangkan tanteku yang mendengar perdebatan kecil itu pun tak mau banyak berkomentar. Sama seperti aku, yang takut salah jika harus ikut-ikutan menghakimi. Bagaimanapun, hanya mereka berdua yang mengetahui apa yang sebenarnya.
Waktu pun terus berjalan, hari berganti bulan mengiringi kehamilan Lisa. Ia menjalani kehamilannya dengan masih menjadi seorang pendiam. Apa yang dirasakannya saat hamil jarang diceritakan kepada kami keluarganya. Hingga saat kandungannya menginjak usia delapan bulan, Ia mengalami batuk-batuk yang tak biasa. Kedua kakinya pun bengkak. Semua bersepakat untuk memeriksakannya ke dokter. Diagnosa dokter menyebutkan bahwa ada masalah dalam air ketuban sehingga meracuni beberapa bagian tubuhnya. Aku sendiri tidak begitu paham apa yang terjadi ketika itu.
Usai pemeriksaan itu, Lisa tampak beberapa kali mengalami gangguan kesehatan. Batuk yang tak kunjung reda, dan kaki yang masih saja terlihat membengkak tak wajar. Perutnya pun terlihat begitu besar. Keputusan untuk membawanya ke rumah sakit pun diambil, saat usia kandungannya belum genap 40 minggu.
Tak disangka, dokter di rumah sakit tersebut menyarankan tindakan operasi. Ada hal serius yang terjadi dalam kandungannya. Saat itu juga rumah sakit tersebut memberi surat pengantar rujukan ke rumah sakit yang lebih besar. Kami yang kurang begitu mengerti pun menyetujui apa kata dokter.
Sesampai di rumah sakit rujukan, tindakan operasi segera dilakukan. Penandatanganan surat persetujuan operasi dilakukan di hadapan Lisa. Kala itu dokter menyebutkan bahwa operasi ini untuk menyelamatkan salah satunya, apakah ibu atau anak dalam kandungannya.
Lisa yang memang sangat pendiam pun tak berkomentar apapun. Hal yang sangat disesalkan atas sikapnya hingga kini.
"Kalau saja dia bilang apa yang dirasakannya saat itu," ucap ibuku setiap kali mengingat kejadian itu.
Kini 10 tahun berlalu sejak kejadian itu. Dua anak di dalam kandungan Lisa telah tumbuh menjadi anak perempuan yang sehat. Subur dan gemuk perawakannya. Sedangkan Lisa telah tenang berada di surga-Nya.
Ajal telah menjemputnya setelah bayi dikeluarkan dari dalam perutnya. Kejadian yang cukup menyentak bagi siapa saja yang mendengar. Pukulan berat dirasakan oleh kedua orang tua Lisa. Mereka seakan menyalahkan keputusan keluarga Hisyam yang mengiyakan operasi. Padahal, mereka hanya mengikuti kata dokter. Keadaan yang bagaikan buah simalakama.
Namun, takdir berkata demikian. Semua sudah terjadi, dan kami semua harus mengikhlaskannya. Hisyam sendiri pun tak kuasa menahan sedih hingga beberapa kali jatuh pingsan saat pemakaman Lisa.
"Siapa yang akan menyusui anak-anakku, Ma ... , siapa?" ucap Hisyam di tengah tangisnya yang meledak kala itu.
Semua yang mendengar merasakan kepiluan yang sama. Dan hanya bisa menasihatinya untuk bersabar.
"Sudah takdirnya, ikhlaskan Hisyam. Kasihan Lisa, biar dia tenang di alam sana," hibur beberapa orang yang hadir di hari pemakaman itu.
"Tapi aku sayang, Lisa! Aku sayang Lisa!" masih dengan tangisan yang berderai, Hisyam meluapkan segala emosinya.
***
Sepuluh tahun berjalan penuh cerita.Segala cerita tentang Lisa yang pendiam hingga ajal menjemputnya, menjadi kenangan di dalam pengasuhan dua bayi kecil yang dulu berada di inkubator. Manusia hanya bisa berusaha, namun takdir semata kehendak Sang Kuasa.
Kebersamaan yang hanya sebentar dengannya, tak membuat kami dengan mudah melupakan sosoknya. Lisa, semoga dia dapat tersenyum menyaksikan anak-anaknya tumbuh, sekalipun tak sempat bertemu mereka di dunia.
Semoga syahid menjadi hadiah terindah bagimu, Lisa ....
Semoga kelak berjumpa disurga
BalasHapus