HUJAN DERAS

Batinku bergemuruh,  ingin rasanya memaki semua orang yang hadir di ruangan ini. Namun, itu tak dapat kulakukan, tenggorokan seakan tercekat. Hanya lelehan air dari sudut mata yang kian menderas. Sederas air langit yang tengah tercurah di luar sana.  Tak kuhiraukan suara dari kanan-kiri yang ingin menghibur dan menguatkan agar aku menerima kenyataan ini.

"Beginikah yang Ibu inginkan, melihat suamiku tak tertolong?" akhirnya dengan nada tinggi kulontarkan tanya kepada wanita di hadapanku.

"Loh,  kenapa malah menyalahkan Ibu? Suamimu seperti ini karena sudah takdir,  bukan karena tidak dibawa ke rumah sakit" timpal ibuku dengan raut muka tak percaya.

"Tidak!  Tidak!  Kalau saja kita membawanya ke rumah sakit,  pasti dia akan tertolong ..." lanjutku menahan pedih.

Betapa kacau perasaanku  malam ini, berada dalam situasi yang sulit sekaligus menegangkan. Suamiku mengalami kondisi drop, penyakit yang dideritanya memperlihatkan tanda memburuk. Hujan yang sangat deras, keterbatasan akses komunikasi dan transportasi membuat kami kesulitan untuk membawanya ke rumah sakit.

"Bukannya tidak mengizinkan untuk membawanya ke rumah sakit, tapi lihat kondisi di luar!  Siapa yang akan kita mintai tolong tengah malam seperti ini?" balas ibuku dengan gusar.

Aku diam tak membalas ucapannya lagi. Aku sadar tak seharusnya menyalahkan Ibu.

Pikiranku menjelajah ke belakang. Saat suamiku pertama kali pulang dari perantauan dengan luka di telapak kakinya. Penyakit diabetes menjadi diagnosa dokter saat itu.  Kebiasaan suamiku yang gemar makan makanan enak tanpa memperhatikan gizi seimbang menjadi pemicunya.

Sejak itu keadaan semakin memburuk. Suamiku tak bisa lagi menjalankan kewajibannya untuk mencari nafkah. Kondisi ekonomi keluarga menjadi kacau balau karena tidak adanya pemasukan.  Hutang membengkak guna menutupi kebutuhan makan dan sekolah anak. Hingga akhirnya aku menggantikan tugas suamiku untuk bekerja.

Dua tahun lamanya dia keluar masuk rumah sakit tanpa perkembangan berarti.  Borok di telapak kakinya semakin meluas. Pilihan amputasi pun pernah menjadi pertimbangan demi kesembuhannya.

Berulang kali pula terjadi peselisihan antara aku dan ibuku mengiringi pengobatan suamiku. Bukan tanpa sebab, ibuku selalu merasa suamiku tak berniat untuk sembuh. Tetap saja suamiku memakan pantangannya sebagai penderita diabetes. Padahal,  ibuku menjadi orang yang paling berperan penting saat suamiku berada di rumah sakit. Jika tidak menemaniku menunggui suami,  ibuku juga membantu mengasuh anakku di rumah.  Tak terhitung biaya dan perngorbanannya untuk membantuku melewati ini semua. 

"Bagaimana mau sembuh jika pola makan tidak dijaga?  Ingat kata dokter,  apa yang seharusnya dihindari?" sindir ibuku setiap kali mendapati suamiku memakan makanan yang tidak sehat bagi penyakitnya, "kalau kumat siapa yang susah? rumah sakit itu tidak murah, percuma diobati kalau seperti ini."

Aku selalu dalam posisi serba salah. Ingin membenarkan kata ibuku,  namun tak berani menentang suamiku. Sudah lelah rasanya berdebat dengannya.

"Mas,  kalau bukan kamu yang berusaha untuk sembuh,  siapa lagi?" ucapku saat menyuntikkan insulin ke perutnya.

Aneka jenis obat sudah aku hafal di luar kepala. Aku pun akrab dengan perban dan cairan pembersih luka. Dengan sekuat kemampuan aku berjuang merawat suamiku,  bertindak sebagai perawat pribadinya selama dua tahun. Namun,  semuanya seakan sia-sia dengan sikap abainya.

"Kalau aku mati,  ya tinggal dikubur saja. Gampang kok," celetuknya membuatku tak habis pikir.

Segala pedih yang kutanggung, lelah yang kurasa,  dan sederet perasaan tertekan seakan tak berharga.  Tak jarang kami bertengkar di tengah kondisi seperti ini. Kecemburuannya terhadap teman kerjaku memperburuk keadaan.  Dia menuduhku berselingkuh karena sadar dia tak lagi mampu memberi nafkah batin. Sebuah tuduhan tak berdasar yang membuatku semakin berputus asa dalam menghadapi cobaan ini.

Konflik dengan ibu dan suamiku sendiri yang berlarut-larut di tengah ujian benar-benar membuatku rapuh. Seringkali terlintas tanya,  kapan situasi seperti ini akan berakhir?

Dan, malam ini aku mendapatkan jawabannya. Perjuanganku selama dua tahun mencapai puncaknya malam ini. Suamiku terbujur kaku di ruang tengah rumah mungilku. Dikelilingi Bapak, Ibu, Adik, Paman,  Bibi dan anak-anakku, aku memandangi wajah suamiku yang pucat. Kukuatkan hati untuk menutupi tubuh yang masih teraba hangat itu. Hujan deras tertumpah dari mata dan dari langit.

Kini tugas berat menantiku di depan mata.  Menjadi single parent untuk kedua anakku. Aku tak tahu apakah harus sedih atau lega dengan keadaan ini ....

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

REVIEW BUKU THE POWER OF DASTER

HADIAH UNTUK RESTU

PILIH PUNYA HUTANG ATAU PIUTANG?