BI INAH

Hari ini aku berkunjung ke rumah Ibu yang berjarak sekitar 15 km dari rumahku. Beruntung aku memiliki jodoh tetangga desa, jadi tak perlu repot jika  kangen dengan orang tua. Hanya dengan meminta izin kepada suami, aku bisa dengan mudah berkunjung ke rumah mereka. Bersama suami tentunya.

Seperti biasa saat hendak pulang kembali ke rumah, aku menyempatkan diri berbelanja keperluan dapur di warung milik Bi Inah, tetangga ibuku. Aku berniat membeli beberapa sayuran dan lauk lain untuk mengisi kulkas. Persiapan untuk beberapa hari ke depan.

"Bi, beli ...," aku mengeraskan suara di depan sebuah warung.

Ah, sebenarnya kurang etis kalau menurutku cara seperti ini, yang bertujuan untuk memanggil si empunya warung. Tetapi, memang sudah dari dulu kebiasaan di daerah asalku ini. Berbeda dengan tempat tinggalku yang sekarang. Orang-orang di desa tempatku tinggal, selalu memberi salam saat bertandang ke warung atau toko.

"Assalamu'alaikum ...," kucoba cara lain untuk memanggil.

Lumayan lama, pemilik warung tak muncul. Aku pun mengulangi berseru memanggilnya, "Bi Inah, beli!"

Akhirnya setelah tiga kali aku memanggil, Bi Inah pemilik warung menemuiku.

"Beli apa?" tanyanya singkat.

"Mau beli sayuran, Bi," ucapku seraya mengambil beberapa bahan makanan yang aku butuhkan. Kebetulan sayur mayur dan aneka lauk diletakkan di meja, sehingga memudahkan pembeli untuk mengambil sendiri keperluannya.

Sebenarnya agak sungkan aku melakukannya, mengingat ekspresi Bi Inah yang kurang ramah. Entah, mungkin dia sedang ada masalah atau  kecapekan. Aku pun mencoba berbasa-basi dengan bertanya sekadarnya.

Namun, ternyata usahaku percuma. Dia tetap saja menjawab singkat, seperti enggan melayaniku. Padahal yang aku tahu, pembeli adalah raja yang berhak dihormati.

'Ah sudahlah,' batinku.

Aku juga sudah paham tabiatnya yang angkuh sejak dulu. Ya, menghabiskan waktu kecil hingga sampai menikah di lingkungan ini membuat aku paham tabiat semua tetanggaku. Dulu aku suka sebal jika menghadapi beberapa tetangga yang kurang ramah saat ada teman-temanku yang bermain ke rumah. Begitulah, dinamika hidup bertetangga. Ada saja yang masalah yang muncul. Lingkungan yang kurang kondusif, pikirku kala itu.

Hingga akhirnya aku menikah dan tinggal di rumah suami. Aku menemukan lingkungan yang berbeda. Memiliki tetangga yang baik dan  jauh lebih religius. Hidup bersama suami  yang memang penyabar, membuatku lebih bisa mengontrol emosi dan pandai berbasa-basi.

Dulu ketika menghadapi sikap tetangga seperti Bi Inah yang kurang mengenakkan, aku sebal dan sedikit marah. Namun, sekarang pikiranku jauh lebih slow. Aku cuek menghadapi perlakuan yang tidak ramah. Biar saja mereka seperti itu, yang penting aku sudah berbuat  baik, begitu prinsipku. Aku pun merasa lebih tentram dengan perubahan yang aku alami kini.

"Ya, udah berapa semuanya, Bi?" aku bertanya setelah memilih semua yang aku butuhkan. Bi Inah memasukkan semua belanjaanku ke plastik seraya menghitung harganya.

"Semua 35.000," ucapnya.

Aku pun mengeluarkan uang pecahan 50.000. Bi Inah menerimanya dan mengambil kembalian.

"Kembaliannya cuma ada 10.000, kurang 5.000," ucap Bi Inah masih dengan ekspresi yang tak ramah.

"Ya, udah, ditinggal aja. Gampang nanti kalau beli lagi di sini," ucapku bersiap balik badan untuk pulang.

"Yah ... nanti lupa, gimana?" tanya Bi Inah kemudian.

"Duh, gimana ya udah kebeli semua," timpalku, "ya udah deh beli kue ini aja biar pas."

Aku tak mau berpanjang lebar memikirkan uang kembalian. Kebiasaan dari Bi Inah yang juga tidak berubah. Setiap kali hendak membeli uang kembalian, pasti selalu kurang. Ada saja alasannya. Sudah menjadi rahasia umum jika itu kebiasaan Bi Inah, selalu menyisakan uang kembalian. Bukan hanya kepadaku tapi kepada pembeli lain. Entah, apa tujuannya aku sendiri kurang mengerti. Tetapi kebanyakan berakhir dengan membelanjakan kembali uang kembalian yang tersisa itu. Walaupun tidak membutuhkannya.

Aku pun bergegas ke rumah Ibu. Dan seperti tahu yang terjadi, Ibu menanyaiku,
"Nggak ada kembaliannya ya?"

"Yah, udah biasa kan?" jawabku sambil mengangkat bahu.

Ibu mengangguk mendengar jawabanku,
"Sayang sekali ya, orang kok nggak berubah dari dulu."

"Biarin lah ... yang penting kita udah bersikap baik kepada orang lain. Kalau orang lain seperti itu, nggak berubah, betapa ruginya. Dulu Tia suka sebel, sekarang sih santai aja ngadepin sikap seperti Bi Inah itu," ucapku panjang lebar disusul anggukan Ibu kembali.

Hubungan penjual dan pembeli sejatinya saling membutuhkan. Bukan penjual namanya jika tidak ada pembeli. Penjual membutuhkan pembeli, begitu juga sebaliknya. Namun terkadang dalam urusan jual beli ada saja masalahnya.

Terkadang kalau bukan penjual yang tidak ramah, mungkin pembeli yang tidak ramah. Padahal seharusnya, penjual menghormati pembeli, karena pembeli adalah raja. Sebaliknya, pembeli pun harus menghormati penjual, karena pembeli membutuhkan barang dari si penjual.

Ah, semoga perlahan sikap Bi Inah dapat berubah. Agar pelanggannya tidak lari ke tempat lain. Tak dapat dipungkiri, orang akan lebih memilih tempat yang "nyaman" dari pada sebaliknya. Semoga hidayah dapat menyapa demi kebaikannya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

REVIEW BUKU THE POWER OF DASTER

HADIAH UNTUK RESTU

PILIH PUNYA HUTANG ATAU PIUTANG?