SEPASANG TUA RENTA


Pagi tadi saat berboncengan motor dengan suami, kami melintas di depan sebuah rumah sederhana. Rumah kecil berdinding papan yang hampir lapuk dimakan usia, serta beratap seng yang tak kalah tua. Ukurannya pun kecil, mungkin hanya terdiri dari beberapa ruangan seadanya.

Tiba-tiba suamiku berkata, "Ini rumah orang tua yang kemarin sore datang ke rumah kita."

Oh iya, aku ingat ada seorang kakek tua yang datang kemarin sore. Kata suamiku, kakek itu sudah berumur 100 tahun lebih. Memang sudah renta, tetapi masih kuat berjalan jauh. Bayangkan, jarak rumah kami dan rumah kakek itu sekitar dua kilometer, itu pun jalan menanjak dan rusak. Karena memang, daerah kami berada di perbukitan. Suamiku bercerita, kakek itu hanya tinggal berdua dengan istrinya, yang juga sudah renta. Mereka berdua memiliki anak-anak yang tinggal jauh terpisah.

"Memang kebanyakan seperti itu, anak sudah besar pasti meninggalkan orang tua," pikiranku melayang bagaimana kehidupan tuaku nanti.

"Kok, anak-anaknya ngga kasihan ya, nggak nemenin mereka?" lanjutku kemudian.

"Bukan apa-apa, keadaan anaknya pun tak lebih baik dari orang tuanya. Terkadang malah kakek itu yang mengunjungi anaknya, dengan berjalan kaki"

"Ya Allah, kasihan ya ...," singkat aku menanggapi.

"Kemarin itu waktu mampir ke rumah kita, beliau lagi cari orang buat mencangkul sawahnya," jelas suamiku, "sudah setua itu pun masih mengolah sawah. Syukur kalau dapat orang buat ikut mencangkul, kadang namanya orang pasti memilih bekerja yang dibayar kan?" panjang lebar suamiku menerangkan.

"Maksudnya, kakek itu nggak membayar orang yang bekerja di sawahnya?" tanyaku sedikit menerka.

"Ya, gimana mau bayar kontan, sedangkan kehidupan petani kampung mengandalkan hasil panennya. Ini baru mau ditanami padi, otomatis belum ada penghasilan."

Aku terdiam mendengarkan penjalasan suamiku atas kehidupan seorang kakek renta yang penuh perjuangan. Sementara sepeda  motor terus melaju melewati rumah-rumah penduduk hingga sampai di bentangan sawah yang luas.

"Itu orangnya!" ucap suamiku seraya menunjuk ke arah sawah.

Dari kejauhan nampak beberapa orang sedang berkubang di sawah ditimpa sinar mentari yang mulai menghangat. Kakek renta itu terlihat sedang mencangkul sawah miliknya. Area persawahan dengan medan yang tidak rata, tidak memungkinkan untuk dibajak menggunakan traktor. Apa boleh buat, hanya bermodalkan cangkul dan tenaga, para petani di sini menggarap sawahnya.

Beberapa meter setelah sepeda motor melaju dari area persawahan itu, kami berjumpa dengan seorang wanita tua yang sedang berjalan kaki.

"Lihat wanita tua tadi?" tanya suamiku membuatku berhenti melayangkan pandangan dari area persawahan itu. Masih mengamati para petani yang sedang bekerja menggarap sawah. Entahlah, pemandangan sawah dan perbukitan yang biasanya selalu membuatku takjub, kali ini tidak menimbulkan kesan seperti biasanya. Pikiranku sibuk dengan apa yang barusan aku ketahui. Masing-masing orang memang memiliki perjuangan sendiri, namun mengetahui kehidupan seorang kakek renta itu membuatku menjadi trenyuh. Ya, dialah seorang bapak dan suami yang berjuang demi keluarga. Mungkin beliau telah berjuang seperti itu lebih dari separuh umurnya.

'Jadi teringat Bapak,' batinku.

"Itu tadi istrinya," suamiku mulai melanjutkan ceritanya lagi.

Suamiku bercerita bahwa istri kakek itu juga masih kuat bekerja kendati usianya sudah sama rentanya dengan sang suami. Istrinya itu mencari gula aren ke para pembuat gula kemudian menjualnya. Berjalan menyusuri desa membawa gula aren yang beratnya hampir satu kilo per buah. Kalau membawa 10 buah, berarti bebannya menjadi 10 kilo. Tubuh tua membawa beban yang berat dengan berjalan kaki tentunya hal yang berat bagi kebanyakan orang. Namun, tetap wanita renta itu jalani demi keuntungan yang hanya sekitar dua ribu sampai tiga ribu per buahnya. Demi menyambung hidupnya.

"Kadang kalau ada yang nawar kasihan ya," ucapku menimpali.

Cerita tentang sepasang tua renta itu pun menyadarkanku apa arti kehidupan. Dua hal berlawanan selalu berjalan bersamaan. Siang-malam, tua-muda, besar-kecil, sakit-sehat, kaya-miskin, adalah takdir dari Yang Maha Pengatur kehidupan.

Setiap orang pasti menginginkan kenyamanan. Siapa yang tidak mau jika di hari tuanya dihabiskan untuk bermain bersama anak-cucu menikmati kenyamanan hidup, bersantai, beristirahat, dan lain sebagainya. Akan tetapi tidak semua orang bisa mengalaminya. Sepasang tua renta tadi contohnya, mereka menghabiskan masa tua masih dengan bekerja keras. Namun, bukan tidak mungkin mereka merasakan kenyamanan yang sama dengan yang bergelimang harta. Bisa jadi mereka cukup puas dengan keadaan mereka sekarang. Menggarap sawah milik sendiri, tinggal di rumah sendiri tanpa memikirkan biaya sewa, makan hasil dari kerja keras sendiri tanpa bela kasihan orang lain apalagi meminta-minta.

Ah, siapa tahu kan? Semoga saja.

Karena standard kebahagian masing-masing orang memang berbeda. Dan kebahagian ada dalam hati yang diciptakan oleh diri sendiri.

Komentar

  1. Suka sama pesan yang disampaikan dalam cerita ini mbak. Terkadang kita salah menerka bahwa kebahagiaan itu hanya didapat dari hidup enak, glamour. Namun bagi sebagian orang, hidup sederhana dan bekerja keras justru hal hal ternyaaman. Kuncinya adalah selalu bersyukur ya mbak. Semoga Kita selalu menjadi orang-orang yang bersukur. Aamiin.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aamiin... Iya Mbak, karena bersyukur adalah kuci kebahagiaan, Insyaa Allah

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

REVIEW BUKU THE POWER OF DASTER

HADIAH UNTUK RESTU

PILIH PUNYA HUTANG ATAU PIUTANG?