SESALKU

Emosi yang selalu mendera beberapa hari terakhir telah membuatku menjadi seorang ibu yang jahat bagi anakku sendiri. Setiap kali Hanan membuat keusilan kecil sekalipun, aku selalu berteriak. Mengeluarkan nada tinggi memprotes kelakuannya.

"Hanan! Nurut sama Ummi!"

"Hanan! Jangan pukul Dedek!"

"Hanan!" Itu nggak boleh!"

Begitu banyak larangan dan bentakanku kepadanya, tanpa mempedulikan bahwa dia hanya balita yang memang belum sempurna nalarnya. Dia memang suka sekali menjaili adiknya, memukul atau tingkah lain yang akan membuat adiknya menangis. Terkadang pun, aku mendaratkan sentilan kecil ke tangannya, berharap dengan itu akan membuatnya jera.

Namun, itu hanya sebuah harapan. Nyatanya dia masih terus melakukannya. Ya, karena dia memang masih belum mengerti. Mungkin itu caranya menarik perhatianku agar lebih memperhatikannya. Rasa cemburu memiliki adik membuatnya bingung harus berbuat seperti apa agar perhatian yang dulu aku berikan penuh kepadanya, kini telah terbagi.

Ada kalanya aku sadar memahami kepolosannya. Menyikapi dengan sabar apa yang telah ia perbuat. Namun, ketika emosi sangat sulit kukendalikan, sentilan dan bentakan pun ia terima. Seperti kejadian yang barusan terjadi.

Suasana mandi sore yang seharusnya ceria, berubah menjadi ajang lomba tangis bagi kedua anakku. Semua bermula ketika Hanan menyiramkan air dingin ke kepala adiknya. Tak ayal, Nada adiknya pun menangis karena kaget. Aku kalap membentak dan memukulnya, hingga dia menangis kesakitan.

Jerit dan tangisan kedua anakku masih berlanjut hingga acara mandi sore itu selesai. Masih dengan menahan amarah, aku memakaikan pakaian kepada mereka.

"Ummi nakal!" ucapnya dengan polos.

Aku hanya terdiam sambil menyusui adiknya. Berharap adiknya berhenti menangis. Sementara dia duduk di sampingku masih dengan sisa tangisnya.

"Udah diam ya, Hanan main dulu sama teman-teman. Habis Dedek bobo Ummi mau sholat aahar dulu," bujukku agar dia berhenti menangis.

Dia pun menurut dan dengan riang keluar rumah untuk bergabung bersama teman-temannya. Seperti tidak telah terjadi apa-apa. Sementara aku, masih menyesali apa yang barusan kulakukan. Hingga anak ke duaku tertidur dan aku melaksanan ritual ibadahku, penyesalan semakin menusuk, membuat sholatku tidak khusyuk.

Entah, mungkin ini cara Allah menegurku. Seketika aku tersadar, bahwa anak hanya titipan. Bisa saja ketika memperlakukan barang titipan dengan tidak baik, si Empunya akan marah dan mengambil barang titipan-Nya kapan saja. Pikiran akan kemungkinan terburuk tiba-tiba saja hadir dalam otakku. Siapa yang tahu akan apa yang terjadi sedetik kemudian?

Rasa sesal dan takut membuat tangisku tak terbendung. Aku tergugu di balik mukenah putihku, menyesali apa yang beberapa hari ini aku lakukan. Aku tak habis pikir kenapa aku bisa semarah ini untuk hal sepele. Aku menyesal, menangis sejadi-jadinya memohon ampun akan kesalahanku.

Aku pun terpikir apa yang tadi pagi aku baca tentang hadits Rasul. Bahwa memperlakukan segala sesuatunya harus dengan lembut jika ingin mendapatkan kebaikan. Begitu juga sebaliknya, jika kita memperlakukan sesuatu dengan kasar maka keburukan yang akan didapat.

Aku menyesal dan tersadar dalam waktu bersamaan. Seperti dejavu yang datang tiba-tiba. Tekad untuk memperbaiki semuanya pun telah kuniatkan.

Pintu kamar terbuka saat aku masih menuntaskan rasa sesak di dada. Sosok mungil anak pertamaku muncul di balik pintu. Seketika aku langsung memeluknya dengan sangat erat.

"Ummi kenapa?" tanya bocah itu menyadari ada air menetes di pipiku.

"Nggak apa-apa, Sayang. Ummi minta maaf ya, habis bentak sama pukul Hanan," ucapku menahan nyeri di dada.

Dia hanya mengangguk. Kupeluk dan kuciumi dia terus hingga lega hati kurasa.

"Mulai sekarang, Ummi janji nggak bakal bentak sama sentil atau pukul Hanan ya. Tapi, Hanan juga harus janji, nggak boleh pukul-pukul atau jailin Dedek," ucapku seraya mengelus rambutnya.

"Iya, Ummi," ucapnya singkat.

Tak peduli dia mengerti perjanjian ini atau tidak, tapi yang pasti tekadku untuk memeperbaiki sikapku kepadanya akan kuusahakan. Aku memang bukan ibu yang sempurna, tapi aku ingin agar anakku mengenal ibunya sebagai sosok ibu yang lembut dan penyayang.

***

Sore itu menjadi titik balik bagiku. Titik balik untuk memperbaiki pola asuhku terhadap anakku. Seperti apa pun tingkah anak, aku tidak akan memukul mereka. Karena nakal atau tidaknya seorang anak, itu hanya persepsi orang tua.

Ba'da Ashar di hari jum'at, waktu mustajab untuk berdoa, membuatku berharap dan yakin bahwa Allah masih mengampuni segala dosaku.



Komentar

  1. masyaallah.. 😢 terharu bacanya

    BalasHapus
  2. Tingkah anak-anak memang kadang bikin kesal, tetapi saat kita merenung rasanya sedih. Air mata yang menetes, bentuk ungkapan kata maaf. Cerita keseharian ibu dan anak yang tidak akan terlupakan ya Mbak.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

REVIEW BUKU THE POWER OF DASTER

HADIAH UNTUK RESTU

PILIH PUNYA HUTANG ATAU PIUTANG?