BERTEMU ANAK PUNK

Siang tadi di perempatan jalan. Saat menunggu lampu lalu lintas menyala warna hijau, kami bertemu anak punk. Berjarak dua mobil di depan kami, aku berbisik kepada suami,

"Bi, Ummi takut."

Bukan apa-apa, tapi karena penampilan anak punk ini terlihat lebih ekstrim. Anak punk yang memang berpenampilan serba hitam, kucel, dekil, dan lusuh dengan rambut tak terawat biasanya hanya menimbulkan kesan, apa ya ... entahlah. Persepsi masing-masing mungkin berbeda. Namun, anak punk di depan kami, berpostur tinggi dengan rambut gondrong dan wajah serta leher penuh dengan tatto berwarna hijau. Melengkapi warna hitam kulitnya. Ini yang membuatku sedikit takut.

Suamiku hanya terdiam mendengar bisikanku. Ketika anak punk itu sampai di depan kami dengan bernyanyi asal diiringi tepukan tangan malas dan isyarat tangan masuk ke mulut yang berarti "makan", suamiku merogoh saku celana. Kulihat lembaran uang berwana coklat hendak Ia serahkan, tapi sedetik kemudian menggantinya dengan lembaran berwarna hijau.

Anak punk itu terlihat sangat siap menerima ketika melihat lembaran coklat, apalagi setelah diganti dengan yang berwarna hijau. Dia pun mengucapkan terima kasih dan berlalu menuju gerombolan temannya di pinggir jalan seraya menempelkan uang tersebut di dahi. Tanda ia bahagia menerimanya, dan berseru "woi" kepada teman-temannya.

Mungkin kata "woi" itu berarti "lihat nih, gue dapet duit lumayan".

Gerombolan anak punk lainnya terlihat menghampiri. Kemudian salah satu dari mereka berseru kepada suamiku, "Om, buat bareng-bareng yak!"

Suamiku  mengangguk dan kami pun melaju karena lampu yang telah berganti warna.

"Bi, kok segitu? Kalau buat beli miras gimana?" tanyaku setelah beberapa meter  kami berbelok ke kanan.

"Nggak, buat makan" jawab suamiku singkat.

"Iya sih, tapi kan lumayan, kalau dikumpulin sama yang lain. Takutnya barangkali buat beli miras"

"Nggak. Ya, semoga saja dapat hidayah"

Anak punk, entah dari mana asalnya. Mereka berkumpul berkelana dari satu tempat ke tempat lain, hanya bermodal "ngamen" untuk makan. Pemandangan yang miris, prihatin, dan juga kasihan.

Pernah aku membaca sebuah tulisan tentang anak punk. Bisa jadi mereka adalah produk gagal dari orang tua. Mungkin mereka tidak mendapat perhatian atau kasih sayang dari orang tua hingga mereka pergi dari rumah. Bertemu dengan anak lain yang bernasib sama dan berkumpul memperoleh kesenangan dan kenyamanan yang mereka cari. Yang tidak didapatkan di rumah.

Mungkin banyak yang berpikiran negatif kepada mereka. Seperti halnya aku. Saat itu aku melihat sisi negatif dari kelakuannya, bukan dari pribadi mereka. Karena memang kita hanya bisa berkomentar apa yang bisa dilihat. Suatu kali sebelum kejadian tadi saat melihat mereka sempat terucap kalimat,

"Bocah kaya kue mikire apa ya?" (Anak seperti itu mikirnya apa ya?)

Saat itu suamiku menjawab, "Ya itu karena salah gaul, tidak dididik orang tua"

"Iya, kasihan. Hidup hanya untuk main, nggak tahu tujuan hidup itu untuk apa."

"Anak seperti itu nyesalnya nanti saat umur 40-an. Nanti saatnya mereka tersadar kalau selama ini yang dilakukan sia-sia"

Ya, semoga saja. Sebelum terlambat. Semoga para pemuda penerus  masa depan bisa memanfaatkan waktu mudanya dengan hal-hal positif. Mereka yang terlanjur terjerumus ke dalam pergaulan yang tidak baik bisa tersadarkan. 

Teriring doa saat memberi uang kepada anak punk tersebut, semoga menjadi jalan hidayah bagi mereka. Bukan bermaksud mendukung mereka untuk bermalas-malasan hanya mengharap pemberian orang untuk bertahan hidup.

Pemalang, 4 Agustus 2019.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

REVIEW BUKU THE POWER OF DASTER

HADIAH UNTUK RESTU

PILIH PUNYA HUTANG ATAU PIUTANG?