PESAN DARI SEBATANG POHON

Minggu pagi yang cerah. Aku dan suami sedang membersihkan halaman depan rumah. Tak terhitung dedaunan kering yang berserakan. Musim kemarau kali ini sangat terasa panasnya. Hingga pohon-pohon pun meranggas mengurangi jumlah daunnya demi bertahan hidup.

Kulihat beberapa pohon cengkeh milik tetangga di pekarangan sebelah sudah hampir mati. Dedaunannya sebagian berwarna hijau, sebagian lagi coklat.

"Bi, lihat deh. Pohon cengkehnya hampir mati," ucapku menunjuk pohon setinggi kurang dari tiga meter itu.

"Ya saking panas cuacanya," timpal suamiku singkat.

"Kenapa ya pohon cengkeh lebih cepat mati ketimbang pohon lain?" tanyaku kemudian.

"Pohon cengkeh itu mengandung minyak, jadi lebih cepat panas," jawab suamiku sambil mengamati beberapa pohon di pekarangan kami sendiri.

"Oh, gitu ya. Sayang ya, padahal udah sering disiram waktu masih kecil. Sekarang udah lumayan besar, malah nggak disiram jadi mati," ucapku sembari mengamati pohon cengkeh lain yang nasibnya pun hampir sama.

Sudah beberapa bulan hujan belum turun membasahi bumi. Dimana-mana rumput terlihat mengering, tanah berdebu, sumber air berkurang debit airnya. Para peternak kesulitan mencari rumput untuk pakan ternaknya. Mereka mesti mencari lahan yang dekat dengan sumber air demi mendapat rumput yang segar. Itu pun di tempat yang lumayan jauh dari daerah kami.

Aku bersyukur tinggal di daerah pegunungan yang masih banyak terdapat pepohonan pinus yang menjulang. Hingga tak terasa sekali kegersangan di musim kemarau. Tak terbayang seperti apa perasaan warga di beberapa daerah yang tedampak kekeringan akibat musim kemarau ini. Tak terbayang pula kesusahan saudara di belahan bumi Indonesia yang terkena kabut asap karena kebakaran hutan.

"Ya nggak apa-apa, biarin pohonnya mati. Itu tandanya hampir turun hujan," ucapan suamiku mengagetkanku.

"Kok dibiarin mati sih, Bi. Kasihan dong," sangkalku.

"Itu cara pohon meminta hujan sama Allah. Kalau manusia yang minta, belum tentu dikabulkan, udah kebanyakan dosa manusianya," suamiku berkata panjang lebar.

Ucapan yang terdengar asal. Namun, membuatku berpikir sama. Bahwa betapa manusia sering lalai dengan nikmat-Nya. Ketika turun hujan, manusia sering mengeluh. Padahal, hujan adalah rahmat dari Allah. Hujan menumbuhkan biji-bijian dan pepohonan, menyuburkan tanah. Terkadang manusia malah menggerutu mengiringi turunnya hujan. "Yah ... hujan." begitu lazimnya suara yang terdengar.

Ketika panas seperti ini, baru manusia mengerti betapa pentingnya hujan bagi kehidupan. Namun, adakalanya manusia pun masih mengeluh ketika musim panas melanda.

"Masak kayak gitu, Bi? Teori dari mana itu?" sedikit ragu aku menyangkal ucapan suamiku.

"Eh ... dibilangin nggak percaya," goda suamiku.

"Hmm iya deh. Tapi kasihan dong pohon kalau kayak gitu, mengorbankan dirinya demi hujan."

"Ya begitulah. Seharusnya kita bisa belajar dari pohon itu. Pohon meminta hujan dengan mengorbankan dirinya. Kalau manusia? Hanya sedikit yang meminta dengan sungguh-sungguh dengan sholat istisqo. Kebanyakan malah mengeluh kepanasan dan lain sebagainya," aku manggut-manggut mendengarkan perkataan suamiku.

Obrolan tentang pohon yang mati itu pun berhenti ketika hari beranjak siang. Sinar matahari mulai terasa teriknya. Terlepas apakah suamiku serius atau bercanda dengan ucapannya, dalam hati aku tetap berdoa, semoga Allah segera menurunkan hujan. Hujan yang membawa rahmat bagi bumi dan segala isinya.

Komentar

  1. Aamiin, di Bandung pun sedang merindukan hujan.

    BalasHapus
  2. Aaamiiin. Di Semarang juga lagi panas banget, sudah kangen bau tanah basah...

    BalasHapus
  3. Aamiin... Datangnya hujan dinanti disemua wilayah. Semoga doa ini terijazah.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

REVIEW BUKU THE POWER OF DASTER

HADIAH UNTUK RESTU

PILIH PUNYA HUTANG ATAU PIUTANG?