HIDUP ITU TENTANG PERSEPSI

"Hanan, ayo sini pakai jaketnya," kataku sembari sedikit menarik lengan anak pertamaku.

Bocah berusia empat tahun itu masih saja mondar-mandir bermain ketika aku memintanya untuk memakai jaket. Padahal sedari tadi aku sudah berusaha memakaikannya di sela kesibukan menyiapkan barang bawaan.

Pagi ini kami berencana berkunjung ke rumah orang tuaku di desa  sebelah. Sinar matahari masih  belum terasa hangat ketika aku sibuk memepersiapkan keperluan kami. Memakaikan anak jaket dan kaos kaki, menyiapkan barang bawaan,  sekedar buah tangan untuk orang tua,  dan lain sebagainya. Sedikit kerempongan yang harus aku lakukan ketika akan bepergian.  Perjalanan dengan sepeda motor bersama dua balita memang harus safety

Kami pun berangkat ketika semua telah siap.  Sengaja kami pergi sepagi mungkin, agar suami tidak terlambat datang ke tempat kerjanya. Ketika berkunjung ke rumah orang tua seperti ini, suami harus memutar jalan yang lebih jauh, bukan melewati jalan seperti biasa.

Perjalanan kami nikmati dengan obrolan ringan tentang apa yang kami temui di jalan. Hingga kami berpapasan dengan saudara jauh yang berprofesi sebagai guru. Seorang wanita sepantar denganku, yang telah memiliki satu orang anak. 

Aku dan suami tersenyum kepadanya. Begitupun dia,  menyunggingkan sebuah senyum seraya tetap memacu motornya.

"Hidup itu tentang persepsi," perkataan suamiku mengalihkan perhatianku dari pemandangan di kanan-kiri jalan ke arahnya.

"Maksudnya?  Ada apakah?" enteng aku menimpali perkataannya. Seperti biasa,  obrolan santai kami diselingi sedikit canda.

"Contohnya tentang Ummi," masih dengan teka-teki dia melanjutkan ucapannya.

"Tentang Ummi? Maksudnya apa sih, Bi?" tanyaku masih belum mengerti, "Ummi belum nyambung nih."

"Ya tentang Ummi. Sebagian orang mungkin bilang,  enak ya jadi jadi Tia,  nggak perlu capek-cepek kerja udah cukup dapat dari suami," ucap suamiku memulai pernjelasannya.

Aku pun sudah bisa sedikit menyimpulkan kenapa suamiku berkata demikian.  Mungkin setelah melihat saudara tadi yang tetap bekerja meskipun suaminya juga bekerja.  Dia rela menitipkan anak kepada pengasuh demi bisa berkarir di luar rumah. Dia sendiri pernah curhat kepadaku tentang kegalauannya memilih berkerja namun harus meninggalkan anak.

"Terus?" tanyaku menanti penjelasan selanjutnya.

"Ya sebagian lagi bisa jadi berkata, kasihan ya jadi Tia.  Dulu ngajar,  jadi guru, sekarang malah cuma jadi ibu rumah tangga.  Ngasuh dua anak kecil-kecil," lanjut suamiku.

"Oh gitu,  makannya tadi Abi bilang hidup itu tentang persepsi?" aku menyimpulkan perkataan suamiku.

"Hm," jawab suamiku singkat, "seperti Mba Dina tadi misalnya, karena tidak mau terlihat oleh orang-orang sebagai sarjana nganggur, dia tetap bekerja dengan segala konsekuensinya."

"Tapi kan barangkali keadaan mengharuskan seperti itu, Bi," aku mencoba berargumen, "padahal mungkin dia nggak mau."

"Ya karena itu tadi,  enggan dipandang rendah oleh orang lain juga," balas suamiku.

Motor terus melaju diantara obrolan kami.  Jarak yang kami tempuh baru separuhnya untuk mencapai tujuan.  Sementara aku masih mencerna apa maksud suamiku memulai obrolan seperti ini.

"Hm, nggak gitu juga mungkin.  Hidup kan memang udah ada takdirnya sendiri. Kalau Ummi memilih untuk tidak bekerja juga karena keadaan yang tidak memungkinkan jika harus nyambi," ucapku menanggapi perkataannya.

"Kalau Mba Dina sendiri mungkin bukan karena gengsi juga lah, Bi.  Kalau boleh memilih mungkin dia juga pengin kayak Ummi," lanjutku kemudian.

"Bekerja atau tidak bekerja memang pilihan masing-masing.  Tapi yang terpenting,  itu membawa kebahagiaan bagi diri sendiri.  Bukan karena mempertimbangkan persepsi orang lain," timpal suamiku.

Aku pun mengiyakan pendapatnya itu. Aku menyimpulkan,  bahwa secara tidak langsung dia sedang menasihatiku. Mungkin dia mengira bahwa aku merasa iri melihat Mba Dian terlihat cool dengaan seragam,  sepatu,  dan tasnya. Sementara aku telah melepaskan itu semua.

Setiap perjalananku membonceng sepeda motor dengan suami,  selalu kami manfaatkan untuk ngobrol. Adakalanya hanya obrolan ringan,  namun tak jarang obrolan yang mengandung nasihat seperti ini.  Jika dalam teori ada pillow talk yang bisa membangkitkaan kemesraan bagi pasangan, (percakapan sebelum tidur), maka bagiku dan suami ini menjadi penggantinya.  Memanfaatkan waktu berbincang di sepeda motor untuk bertukar pikiran,  menambah chemistry

"Okey, Bi.  Insyaa Allah Ummi bahagia dong.  Kalau ngurusin apa kata orang,  ya nggak ada habisnya, banyak yang nggak sesuai dengan keadaan kita," ucapku mengakhiri percakapan ini.

Tempat tujuan sudah semakin dekat. Obrolan di sepeda motor kami akhiri.  Pagi ini aku mendapat ilmu baru dari suamiku,  bahwa hidup itu tentang persepsi. Apa yang kita lakukan pasti akan mendapat pandangan atu persepsi dari orang sekitar,  namun yang terpenting adalah persepsi diri kita sendiri terhadap kehidupan.  Apakah menuruti kata hati untuk menciptakan kebahagiaan sendiri,  atau akan mengikuti tanggapan orang lain terhadap kehidupan kita.



Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

SMARTPHONE DAN REMAJA

HUJAN DERAS