AKU MEMILIHMU (Episode 5, Ending)

Aroma harum teh menguar memenuhi rongga hidung. Secangkir minuman favoritku yang cukup memberikan energi positif di pagi hari. Kusesap sisa cairan manis itu hingga tandas sebelum meraih ransel. Pagi hujan tak menyurutkan langkahku untuk berangkat kerja.

"Mas Amar,  nanti sore jemput Mbak Salma di stasiun?" Nayla menyusulku di ambang pintu sebelum mesin sepeda motor sempat kunyalakan.

"Iya,  biar nggak bolak-balik. Pulang kerja langsung jemput dia," jawabku seraya mengancingkan mantel pelindung hujan.

"Ya udah. Nggak mampir kemana-mana kan?" tanyanya lagi.

"Mampir ambil cincin," jawabku singkat.

Hari pertunanganku dengan Nida sudah ditentukan.  Segala persiapan telah tersedia demi bertandang ke rumahnya,  mempertemukan dua keluarga. Keyakinan dalam hati untuk menyuntingnya menjadi istriku telah mantap setelah izin kukantongi dari ayahnya. Sebuah kepuasan tersendiri ketika berhasil menaklukan rasa gugup bertemu calon mertua.

Bab pertama kehidupan baru telah kulalui,  kini saatnya melaksanakan langkah selanjutnya. Tinggal hitungan jam aku akan memperlihatkan Nida kepada keluarga besar,  termasuk Salma adik pertamaku, yang tinggal jauh merantau di kota provinsi.

"Ya udah,  hati-hati di jalan ya ...," pesan dari Nayla mengantarku menembus hujan.

***

"Cieee ... yang udah tunangan,  kapan nih jadinya?" sebuah tepukan di pundak membuatku menoleh ke sumber suara.

Kulepas helm yang membungkus kepala. Mba Devi rupanya.  Pegawai senior bagian personalia yang selalu kepo dengan gosip yang beredar di kantor itu menyejajarkan motornya di parkiran.

"Kata siapa aku tunangan?" tanyaku mencoba memperlihatkan ekspresi sedatar mungkin,  sekalipun dalam hati sedikit merasa kaget. Bagaimanapun,  aku ingin merahasiakannya sebelum akad terucap. 

"Yah ... pake ngeles lagi.  Doni tuh yang cerita," ucapnya masih dengan wajah kepo.

Aku terdiam sejenak, mencoba merangkai kata yang pas untuk menghentikan rasa penasarannya. Namun,  sejurus kemudian Doni datang dengan memamerkan deretan giginya. Seperti biasa, pemuda itu selalu terlihat santai dengan gaya cengengesan.

"Huh, dasar! Cowok kok doyan nggosip," sebuah jitakan mendarat di kepalanya.

"Sorry, Bro. Mbak Devi tuh yang kepo, akhirnya keceplosan deh,  haha..." tampangnya yang humoris urung membuatku jengkel.

Doni, teman seperjuangan yang mengetahui hubunganku dengan Nida. Hanya dialah pegawai kantor yang mengetahui sosok calon istriku itu, karena Doni pernah melihat Nida saat hari pertama kami berkerja. Segala tingkah anehku setelah hari itu membuatnya tahu ada sesuatu antara aku dengan Nida.

"So, kapan nikahnya?  Masih kepo nih gue," sela Mbak Devi di tengah perkelahian pura-puraku dengan Doni.

"Tunggu aja tanggal mainnya Mbak,  nggak lama kok.  Udah nggak tahan soalnya, haha ..." selorohku meniru gaya cengengesan Doni seraya berlalu meninggalkan mereka berdua.

***

Kupandangi pigura yang terletak tak jauh dari tempat tidurku. Sebuah hiasan berbentuk tanda love yang tersusun dari beberapa pecahan rupiah baru saja kurapikan. Mahar pernikahan sederhana yang akan menjadi salah satu bukti halalnya Nida untukku.

Aku masih belum beranjak dari tempatku mengamati pigura saat nada dering telepon berbunyi.  Tanda ada pesan masuk. Kubaca nama si pengirim pesan, "Lia".

[Selamat ya Mas Amar. Aku turut berbahagia, semoga langgeng]

Sedikit ragu untuk membalas pesan tersebut, sebelum akhirnya kuketik juga balasan untuknya.

[Terima kasih. Semoga sukses untuk karirmu]

Lia, sayang sekali dia tak menyambut baik niatku dulu. Kini,  tak kubiarkan ada celah untuknya masuk lagi ke dalam hidupku. Hanya ada Nida yang akan mengisi hari-hariku selanjutnya,  karena dialah jawaban dari istikharahku.

Kusorot sebuah deretan nomor di daftar kontakku. Sedetik kemudian kuklik tombol berlambang tempat sampah. 

'Aku memilihmu, Nida ....'

Tamat.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

HADIAH UNTUK RESTU

PILIH PUNYA HUTANG ATAU PIUTANG?

Ipsach, Desa Tenang dan Hi-Tech di Swiss