AKU MEMILIHMU (Episode 4)

Sepertiga malam yang sunyi. Hanya sesekali terdengar kokok ayam jantan membangunkan hamba yang terlelap dalam buaian hangat selimut. Aku masih bersila di atas sajadah merah di ruang sholat rumahku. Sedikit cahaya masuk dari lampu di ruang tengah yang kubiarkan menyala. Suasana temaram membuatku lebih khusyuk dalam memanjangkan doa.

Dua rakaat istikharah telah kutunaikan setelah sebelumnya bertahajud dan witir. Ada banyak doa dan harapan yang tengah kupanjatkan kepada-Nya. Kegalauan atas pilihan jodoh membuatku enggan beranjak dari tempat ini. Aku butuh jawaban atas kegelisahan ini.

Ada getar setiap kali aku membayangkan Nida. Entah kenapa hatiku condong untuk memilihnya. Kebiasaan baru kami berdiskusi berbagai macam masalah melalui ruang chatting,  membuatku tak bisa melupakannya. Seperti ada yang kurang saat sehari saja aku tak menyapanya. Dia pun seakan memberi lampu hijau saat meladeni chat yang aku kirim terlebih dahulu.  

'Aku tidak mau ini berlangsung terus tanpa kejelasan,' ucapku dalam hati. 

Aku tahu yang kulakukan tidak baik. Berkhalwat dengan seorang gadis yang belum halal untukku, walaupun secara tidak langsung. Bayangan akan masa lalu kembali hadir melintas.

***

"Bagaimana keputusanmu?" ucapku menunggu jawaban dari Lia.

Gadis di depanku itu hanya terdiam.  Nampak jelas ekspresi ragu di wajahnya. Kuamati setiap gerakan yang membuatnya sedikit salah tingkah.

"Keputusan apa sih, Mas Amar?" sejurus kemudian dia menjawab dengan sedikit memalingkan wajahnya.  Senyuman yang dibuat-buat membuatku sedikit geram.

"Aku mau jawaban yang pasti! Iya atau tidak!" tegasku membuat Lia menatapku dengan enggan.

"Entahlah,  rasanya aku belum siap. Aku belum mau terbebani.  Fokusku sekarang adalah mengejar karir terlebih dulu karena aku ingin membahagiakan orang tua" jawaban panjang akhirnya keluar dari mulutnya.

Aku terdiam mencerna jawabannya. Apa salahnya menikah dengan meniti karir? Kenapa menikah menjadi beban?  Apakah dengan menikah menjadikan anak tidak bisa membahagiakan orang tua? Beragam tanya menari dalam otakku, berusaha memahami apa yang baru saja dia ucapkan.

"Baiklah kalau itu maumu," aku hendak beranjak dari tempatku. Percuma aku mendesaknya dengan berbagai macam solusi atas apa yang dia ragukan.

"Kita jalani aja dulu deh,  Mas.  Kita pacaran aja dulu," ucapan terakhirnya itu tak membuatku menghentikan langkah.

Aku terus berjalan meninggalkannya yang jua tak mencegahku.

***

Kumandang adzan Subuh menyadarkanku dari lamunan tentang satu episode bersama Lia. Seorang gadis yang sempat kupilih untuk menjadi makmumku. Namun, ternyata kami tidak berjodoh. Ada banyak hal yang membuatku memutuskan untuk menyudahi hubungan itu. 

Aku bukan tipe orang yang suka bermain-main dalam urusan perasaan. Aku tak mau menjalani hubungan tanpa kejelasan status seperti yang Lia inginkan. Masih teringat jelas apa yang dia ungkapkan kala aku meminta jawaban untuk bisa menikahinya.

"Kita jalani aja dulu deh, Mas. Kita pacaran aja dulu."

Ah,  sungguh bukan tipe wanita yang aku inginkan ketika dia lebih memilih menjalin hubungan penuh jalan zina dari pada ikatan suci pernikahan.

Kuakhiri ritual doa panjangku malam ini. Lantas segera bergegas ke masjid untuk sholat Subuh berjama'ah. Telah kumantapkan hati untuk membuka lembaran baru. Nida, gadis yang aku pilih untuk menjadi ibu dari anak-anakku kelak. Niat untuk segera mengkhitbahnya telah mantap aku putuskan.

Bersambung.

Komentar

  1. Apa salahnya menikah dengan meniti karir? Kenapa menikah menjadi beban? Apakah dengan menikah menjadikan anak tidak bisa membahagiakan orang tua? ~Tertohok banget :(

    BalasHapus
  2. Weheee. Ternyata mba isnania komen tho,

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

HADIAH UNTUK RESTU

PILIH PUNYA HUTANG ATAU PIUTANG?

Ipsach, Desa Tenang dan Hi-Tech di Swiss