FITRAH ANAK DALAM MELUAPKAN EMOSI

Foto : Google

Beberapa hari belakangan,  aku dibuat pusing oleh tingkah laku dua anak balitaku. Bingung, bete,  putus asa, dan kesal seringkali yang dirasakan saat menghadapinya. Masalahnya apa lagi kalau bukan sibling rivalry. Masalah yang pasti ada di antara kakak beradik. 

Anak pertama yang berusia 4,5 tahun memang belum sepenuhnya mengerti apa arti memiliki adik.  Tak jarang bahkan seringkali dia masih memukul adiknya. Padahal,  aku sudah memberitahukannya bagaimana harus bersikap kepada adik.  Harus menyayangi dan tidak boleh memukul. Namun,  tetap saja dia memukuli adiknya, tidak merasa bersalah sedikit pun atas apa yang dilakukan.  Begitu pun adiknya yang berusia 2 tahun.  Dia hanya bisa menangis saat dipukul,  tapi sejurus kemudian tetap bermain bersama kakaknya.

Namanya juga anak-anak yang belum sempurna nalarnya. Sugesti yang sering aku pikirkan kala menghadapinya. Tetapi, sebagai manusia biasa yang rawan akan godaan syaitan, aku pun tak luput meluapkan emosi. Apalagi bagi seorang ibu rumah tangga yang harus mengerjakan pekerjaan rumah tangga tanpa bantuan ART. Rasa lelah kadang menambah ketidakstabilan emosi.

Nada tinggi pun meluncur tak terkendali dengan raut muka tidak ramah. Kalau sudah begini,  biasanya hanya penyesalan yang datang. Astaghfirullah ....

Masalah pukul-memukul diperparah dengan fase ke-aku-an dari mereka berdua. Seringkali mereka berebut, entah itu makanan,  mainan, bahkan aku ibunya. Masing-masing dari mereka berusaha memepertahankan apa yang diinginkan. 

"Ini Umminya Hanan", "Ini mainannya Hanan", kalimat-kalimat seperti yang sering diucapkan si Kakak saat berusaha memberitahukan "otoritasnya" kepada adiknya.

"Bukan,  ini Umminya Dede Nada", "Bukan, ini mainan Dede Nada", kalimat seperti itu pula yang diucapkan si Adik yang berusaha mempertahankan pendapatnya.  

Berbagai masalah dalam sibling rivalry ini menjadi rutinitas yang selalu terjadi antara mereka berdua. Tangisan dan teriakan menjadi senjata bagi mereka untuk memperebutkan perhatian ibunya.

Sebagai ibu, aku berusaha untuk bersikap adil.  Walaupun sikapku tetap tidak bisa menghentikan dengan serta merta tangisan dan teriakan mereka.  Ah,  sungguh, menjadi ibu itu harus selalu memahami apa kemauan anak.  Salah sedikit saja pasti menimbukkan drama tangisan yang sulit dihentikan. 

***

Tangisan dan teriakan.  Sebenarnya ini adalah yang wajar dilakukan oleh anak-anak. Dalam sebuah kuliah WhatApps yang aku ikuti, nara sumber mengatakan bahwa setiap jenjang usia  memiliki cara tersendiri dalam meluapkan emosinya atau membahsakan maksudnya.

Berikut penjelasannya:

1. Rentang usia 0 sampai 2 tahun (bayi) 

Dalam rentang usia ini,  anak hanya bisa pasif saat melampiaskan emosinya.  Pasif yang seperti apakah? Yaitu dengan menangis.  Bisa dilihat kondisi anak bayi yang sering menangis saat mengungkapkan sesuatu.

2. Rentang usia 3-4 tahun (toddler)

Dalam rentang usia ini,  anak akan lebih agresif saat mengungkapkan sesuatu.  Atau saat melampiaskan amarahnya.  Seramgan fisik atau pukulan menjadi andalan anak usia ini untuk menarik perhatian orang tuanya.

3. Rentang usia 5 sampai 6 tahun (Anak TK / SD).

Pada rentang usia ini,  anak akan lebih memilih serangan verbal saat melampiaskan amarahnya.  Hal ini bisa dilihat saat anak TK atau SD saling mengejek kepada teman-temannya. 

4. Rentang usia > 6 tahun. 

Pada usia ini,  anak sudah lebih sabar menghadapi emosinya. Berkata mengungkan pendapat mungkin sudah bisa dilalukan saat menghendaki hal yang tidak mereka sukai. 

Begitulah,  fase anak-anak dalam meluapkan emosi.  Ibu harus tahu apa saja kebisaan meraka dalam meluapkan emosi. 

Dan bagiku, ingatan akan materi di kuliah WhatApp ini menjadi pengingat tersendiri agar tidak terlalu emosi menghadapi tangisan dan teriakan anak.  Ya,  karena itu fitrah mereka. 

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

REVIEW BUKU THE POWER OF DASTER

HADIAH UNTUK RESTU

PILIH PUNYA HUTANG ATAU PIUTANG?