SAHABAT SURGA

SAHABAT SURGA

Foto : Pixabay


Teringat sangat pertama kali jumpa. Kau begitu bersahaja dengan balutan gamis syar'i berwarna maroon dan hijab lebar menutup dada. Auramu begitu sejuk, kalem,  terpancar sosok penyayang dari sorot matamu. Pembawaanmu yang santai serta tutur katamu yang lirih, menandakan kau seorang yang lembut hatinya. 

Di sebuah kajian islam, kali pertama kita bertemu. Rupanya kita sama-sama sedang mencari oase di tengah gersangnya iman. Aku tahu itu, karena  setelah berbasa-basi denganmu, ternyata kita memiliki kesamaan tujuan untuk datang ke taman-taman surga.
 
Kala itu aku terpana, melihatmu sesenggukan saat melantunkan ayat suci Alquran. Begitu dalamnya pengahayatanmu kepada kalam-Nya. Ya, masing-masing dari yang hadir di majelis ilmu itu memang mendapat giliran membaca barang beberapa ayat Alquran. Sungguh, bukan sekadar membaca seperti yang aku lakukan, namun kau menunjukkan ekspresi lain. Tubuhmu bergetar, diiringi lelehan air mata yang tak berhenti mengalir. 

Ah, sungguh malunya diriku. Sok-sokan ingin hijrah, namun ternyata belum sampai ke hati cara hijrahku. 

Sejak saat itu, kita sering berinteraksi  lewat obrolan chat di aplikasi ponsel pintar. Raga kita memang hanya bertemu satu kali dalam sepekan, namun jiwa kita selalu terpaut dengan seringnya berbalas pesan. 

Hari berganti hari, bulan pun terus bergulir. Aku kembali merasa futur karena tidak lagi datang ke kajian. Bukan mauku sebenarnya, namun karena kondisi kehamilanku yang semakin besar, tak memungkinkan untukku datang ke tempat yang lumayan jauh. Berulang kali kata rindu kau ucapkan kepadaku. 

[Sepi, Mbak, nggak ada kamu.] Begitu tulismu di chat Whatsapp. 

Aku hanya tersenyum, berharap nanti jika kondisi sudah memungkinkan, akan berangkat lagi untuk bersama-sama menuntut ilmu dalam lingkaran muslimah salihah. 

[Sabar, ya, Mbak juga udah pengin datang ke kajian lagi,] balasku. 

Aku ingat sekali dulu, saat kita masih bersama-sama mengaji, ada momen lucu yang terjadi. Di parkiran motor saat kajian selesai, kau memberikanku sebuah bingkisan kue. Kau paham sekali kalau aku sangat suka dengan kue berwarna coklat itu. Kebetulan, aku pun membawa bingkisan kue favoritmu. Kenapa bisa kebetulan? Kita sama-sama tertawa saat itu. Ah, lucunya. 

Suci, itulah namamu. Begitu banyak momen indah saat kita masih sering bersua. Kebaikanmu, sifat lemah lembutmu, sopan tutur katamu, akan selalu terkenang meski kini ragamu sudah tak bisa kujumpai lagi. Kau telah memiliki alam lain yang lebih indah dibanding dunia yang penuh tipu daya ini. 

***



Komentar

Postingan populer dari blog ini

REVIEW BUKU THE POWER OF DASTER

HADIAH UNTUK RESTU

PILIH PUNYA HUTANG ATAU PIUTANG?