BERBAGI WARISAN

Foto : Pixabay



(Cerpen tema Keluarga) 

"Gimana, Mas? Kamu setuju kan?" 

Aku melirik ke arah Bapak demi mendengar ucapan dari Tante Mirna. Terlihat pria bergaris-garis halus di kulit wajahnya itu hanya diam. Sedetik kemudian dia mengangguk  mengiyakan. 

Kuhela napas perlahan. Sikap Bapak sudah bisa ditebak. Sudah pasti dia akan menyetujui apa yang diucapkan adik bungsunya itu. Sekalipun permintaan Tante Mirna terkesan memaksa dan hanya dari salah satu pihak. Sebagai kakak tertua, Bapak tidak akan membuat masalah menjadi panjang demi ketenteraman di dalam keluarga. 

"Ya sudah, kalau gitu aku pulang dulu, ya." Tante Mirna melangkah ke luar, pulang menuju rumahnya yang  hanya berjarak beberapa meter dari rumah kami.

Beberapa hari ini terjadi percakapan serius di antara Bapak dan Tante Mirna. Pasalnya, tanah warisan Mbah Uti --ibu dari Bapak-- telah laku terjual. Sebagai anak, wajar bagi mereka untuk membagi hasil dari penjualan tanah itu. Tante Mirna yang anak bungsu dari Mbah Uti merasa paling berhak atas uang dari penjualan tanah itu, karena selama ini dialah yang merawat Mbah Uti. 

Memang, selama Mbah Uti sakit sebelum sepeninggalnya, Tante Mirna telah merawatnya dengan baik. Sudah barang tentu itu kewajibannya karena dia yang tinggal bersama Mbah Uti di rumah induk. Rumah masa kecil Bapak dan adik-adiknya. Bapak sendiri tidak lepas tangan dalam merawat Mbah Uti selama sakit. Bapak selalu siap sedia ketika Tante Mirna butuh bantuannya untuk membopong dan memandikan Mbah Uti saat sakit. 

"Pak, kok Bapak setuju saja permintaan Tante Mirna?" ucapku memecah keheningan usai kepergian Tante Mirna. 

"Ya biarin saja, lagi pula memang Mirna itu yang ketunggon Mbahmu," jawab Bapak kalem. (Bahasa Jawa : Ketunggon artinya menunggui, kebagian jatah untuk menunggui atau menemani) 

"Sudahlah, lagian kalau memperebutkan warisan malah jadi ribut sama keluarga. Turuti saja apa mau Tante Mirna." Ibu yang sedari tadi diam menyaksikan perbincangan Tante Mirna dan Bapak, rupanya memiliki pikiran yang sama dengan Bapak. Wanita nomor satu di hidupku itu memang paling tahu keinginan suaminya. 

"Tapi kan, Pak, bukannya dalam islam, jatah warisan untuk anak laki-laki dua kali lipat anak perempuan? Kok ini malah sebaliknya, bahkan Tante Mirna melupakan jatah Tante Dewi. Dia juga kan selalu membiayai perawatan Mbah Uti saat di rumah sakit." Panjang lebar aku ungkapkan pendapat. 

Bukan karena iri dan ingin memdapat warisan, tapi bukankah hak waris sudah ada hukumnya dalam agama? Rasanya seperti itu yang aku pelajari di bangku sekolah dan artikel-artikel agama. 

"Sudah, kamu anak kecil tahu apa. Bapak nggak mau keluarga kita jadi  nggak rukun gara-gara masalah warisan." Bapak bangkit meninggalkan aku dan Ibu. 

Ah, sudahlah, benar juga, aku memang anak kecil. Untuk apa aku ikut-ikutan masalah warisan, walaupun umurku sudah dua puluh tahun. 

Lima tahun berlalu sejak perundingan warisan itu. Kehidupan keluarga kami pun masih seperti dulu; damai, tenteram, dan rukun. Hanya sesekali memang terjadi perbedaan pendapat. Tetapi itu bukan masalah besar, nyatanya keadaan akan jadi membaik setelahnya. Rumah yang berdiri tak jauh satu sama lain pun membuat kami sering saling mengunjungi. 

Namun, belakangan ada hal yang membuat pikiran kami terganggu. Kesehatan Tante Mirna mengalami gangguan serius. Benjolan di salah satu payudaranya terus saja membesar. Berbagai pengobatan telah ditempuh demi kesembuhannya, entah itu medis ataupun altenatif. Kebiasaan orang kampung, pengobatan dengan cara alternatif memang lebih diminati. Olesan-olesan dengan tumbuhan dan minuman dari dedaunan lebih dipilih oleh Tante Mirna atas saran dari keluarga jauh. Padahal, sudah sejak lama operasi pengangkatan tumor ganas itu disarankan oleh dokter. 

Nasi sudah menjadi bubur, takdir manusia siapa yang tahu. Waktu pun  terus berjalan tanpa bisa diputar ulang. Kini, lima kali sudah kemoterapi telah dijalani oleh Tante Mirna. Tiga kali sebelum operasi pengangkatan payudara, dan dua kali setelahnya. Tubuh yang dahulu gemuk, kini menjadi kurus kehitaman karena pengaruh kerasnya kemoterapi. Terhitung hanya hitungan bulan, tumor ganas begitu cepat berkembang menjadi kanker  tanpa bisa dihalau oleh ramuan dan minuman dari dedaunan. 

"Terima kasih, ya, Mba, sudah selalu siap menemaniku."  Kudengar Tante Mirna berucap lirih kepada ibuku sebelum menaiki mobil yang mengantarnya ke rumah sakit. 

Perjalan ke Rumah Sakit kali ini, adalah kali ke sekian sejak diputuskannya operasi pengangkatan payudara. Kemoterapi ke lima akan dilakukan sesuai jadwal dari dokter. Selama itu pula ibulah orang yang selalu hadir. Mengantar dan menemani selama di rumah sakit. Keluarga yang lain tidak bisa melakukannya karena terkendala jarak. Tante Dewi, adik pertama dari Bapak, tinggal jauh di luar kota. Sedangkan suaminya, ah tak perlu ditanya, dia lebih memilih mengurus ternak-ternaknya di rumah dibandingkan menginap di Rumah Sakit. 

"Nggak apa-apa, itulah gunanya keluarga. Aku hanya bisa membantumu dengan cara ini," sahut Ibu. 

Sungguh, Ibu adalah wanita hebat. Tak sekalipun beliau mengeluh saat harus bolak-balik ikut mengantar Tante Mirna ke Rumah Sakit. Sebagai anak, kadang aku sebal karena harus menggantikan tugas Ibu merawat adik-adik dan rumah saat ditinggal menginap oleh Ibu di rumah sakit demi menemani Tante Mirna. Akan tetapi kemudian aku sadar, bahwa yang dilakukan Ibu memang hal yang semestinya, karena kamilah keluarga yang paling dekat dengannya. 

***

Kupandangi tanah pusara yang masih basah. Perjalan ke rumah sakit tempo hari, ternyata perjalan terakhir bagi Ibu mengantar Tante Mirna. Kemoterapi ke enam akhirnya urung dilakukan karena kondisi tubuh Tante Mirna sudah tidak kuat melawan sel kanker. Kemoterapi ke lima menjadi titik akhir perjuangannya melawan kanker payudara. Kendati sebelah payudaranya telah diangkat, nyatanya tak membuat kesehatan Tante Mirna kembali seperti sedia kala. 

Perrjalan dari sebuah pengobatan telah aku saksikan di depan mata. Banyak waktu dan tenaga terkuras dalam menghadapi ujian sakit Tante Mirna. Sudah tak terhitung pula  biaya berobat ke rumah sakit. Tak tersisa lagi barang berharga di rumahnya termasuk hewan-hewan ternak suaminya. 

Tante Mirna, kini sudah tidak merasakan sakit. Adik bungsu Bapak yang dikenal sigap, vokal, dan sedikit egois telah memghembuskan napas terakhirnya. Termasuk keegoisannya membagi uang hasil penjualan tanah warisan Mbah Uti. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

HADIAH UNTUK RESTU

PILIH PUNYA HUTANG ATAU PIUTANG?

Ipsach, Desa Tenang dan Hi-Tech di Swiss